Sebuah renungan : Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.

Hak Beribadah non-Muslim dalam Negara Khilafah

Negara Khilafah, meski merupakan negara kaum Muslim di seluruh dunia, tidak berarti rakyatnya harus semuanya Muslim. Karena itu, keislaman bukanlah syarat mutlak diterimanya seseorang sebagai warga Negara Khilafah. Seseorang bisa menjadi rakyat Negara Khilafah menetap di wilayah Khilafah, serta loyal pada negara dan sistemnya. Seorang Muslim yang tinggal di luar wilayah Islam tidak dianggap sebagai warga negara Khilafah. Sebaliknya, orang non-Muslim yang tinggal di wilayah Islam dan tunduk pada hukum Islam (kafir dzimmi) dianggap sebagai warga Negara Khilafah.

Non-Muslim yang menjadi warga Negara Khilafah akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan kaum Muslim. Terhadap mereka diberlakukan hukum Islam sama dengan kaum Muslim. Sebab, hukum Islam pada dasarnya ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya untuk kaum Muslim saja. Dalam QS Saba’ (34) ayat 28 dijelaskan bahwa orang kafir juga diseru untuk terikat dengan hukum Islam, baik dalam perkara ushul, seperti seruan untuk beriman kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat yang lain, ataupun dalam masalah furu’, yaitu dengan melaksanakan syariah Islam. Dalam al-Quran dijelaskan pula bahwa kelak orang kafir, ketika di dalam neraka, ditanya:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ، وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

Apa gerangan yang membuat kalian terjerumus ke Neraka Saqar? Mereka menjawab, “Kami (ketika di dunia) tidak pernah melakukan shalat, juga tidak memberi makan orang miskin.” (QS al-Mudatstsir [74]: 42-44).

Allah SWT juga dengan keras mengancam mereka yang meninggalkan hukum Islam, termasuk dalam aspek furu’ tersebut, sebagaimana firman-Nya:

وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ، الَّذِينَ لا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka mengingkari (kehidupan) akhirat (QS Fushilat [41]: 6-7).

Jika dalam perkara furu’ tersebut tidak ada kewajiban bagi mereka, tentu hal itu tidak akan menyebabkan mereka masuk neraka, dan tidak menjadi alasan bagi Allah mengecam mereka. Karena itu, ini menjadi dalil, bahwa kaum kafir pun diseru dalam perkara furu’.2 Ini dari aspek khithab (seruan) atau taklif (beban hukum).

Adapun dalam aspek penerapan hukum Islam oleh negara, maka Islam telah membedakannya menjadi dua. Pertama: hukum Islam yang dalam pelaksanaannya membutuhkan syarat harus Muslim. Dalam hal ini, orang non-Muslim tidak boleh melaksanakannya. Bahkan mereka harus dicegah dan dilarang. Misal: shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-Quran, dan sejenisnya. Orang kafir tidak boleh melaksanakannya. Ini seperti kasus kaum Ahmadi, yang jelas murtad; mereka harus dicegah untuk mengerjakan shalat, puasa, haji dan membaca al-Quran. Sebab, untuk melakukan semua itu disyaratkan harus Muslim.

Kedua: hukum Islam yang dalam pelaksanaannya tidak membutuhkan syarat harus Muslim. Dalam hal ini, orang non-Muslim dibolehkan melaksanakannya, seperti jihad, misalnya; bahkan adakalanya wajib, seperti sistem ekonomi, pendidikan, sanksi hukum, pemerintahan, politik luar negeri, dan sebagainya. Karena itu, mereka pun wajib menerapkan hukum Islam.3 Allah SWT berfirman:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

Hukumilah mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (QS al-Maidah [5]: 48).

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Hukumilah perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (QS al-Maidah [5]: 49).

Kata ganti (dhamir) hum pada frasa fahkum baynahum terkait dengan orang Yahudi yang menjadi warga Negara Islam yang ketika itu terikat perjanjian dengan Rasalullah saw. Ketentuan ini berlaku umum bagi seluruh warga negara non-Muslim yang tinggal di wilayah Negara Islam. Kendati demikian keumuman perintah bagi Rasulullah saw, yang juga berlaku bagi setiap kepala Negara Islam untuk menerapkan hukum Islam tersebut di-takhsish dengan perkara-perkara yang menyangkut akidah dan hukum yang mereka anggap sebagai akidah. Ini termasuk pengecualian yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. sendiri. Takhsis itu merupakan hak yang diberikan kepada mereka oleh negara.

Hak Beribadah dan Berakidah

Meskipun kaum kafir menjadi obyek seruan (al-mukhathab) seruan Islam, baik dalam perkara ushul maupun furu’, dalam implementasinya tidak demikian. Mereka, misalnya, tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam, dan tetap dibiarkan memeluk agama serta keyakinan mereka (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 256). Sebaliknya, mereka akan mendapatkan jaminan untuk tetap memeluk agama dan akidah mereka, termasuk kebebasan dan jaminan untuk melaksanakan ritual agama mereka tanpa ada intimidasi, paksaan maupun yang lain.

Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan Abu Ubaid dalam kitabnya, Al-Amwal, melalui jalur Urwah, Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ فَإِنَّهُ لاَ يُفْتَنُ عَنْهَا ، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ

Siapapun yang beragama Yahudi atau Nasrani (berkedudukan sebagai dzimmi), maka dia tidak diganggu untuk melaksankan ajaran agamanya. Mereka dikenakan jizyah.4

Karena itu, setiap perkara yang terkait dengan akidah, walaupun bagi kita bukan, harus dibiarkan dan mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya. Begitu juga dalam perkara yang ditetapkan Rasulallah saw. seperti kebolehan meminum khamr dalam lingkungan khusus mereka, termasuk melaksanakan tatacara pernikahan sesuai dengan ajaran mereka. Hanya saja, ini berlaku jika keduanya non-Muslim. Jika pengantin prianya Muslim dan perempuannya non-Muslim, maka pernikahan atau penceraian mereka dilakukan sesuai dengan ajaran Islam.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, seluruh warga negara yang non-Muslim, baik kafir dzimmi, mu’ahad (kafir yang terikat perjanjian) ataupun musta’min (kafir yang tinggal di Negara Khilafah dengan visa khusus), wajib terikat dengan hukum Islam; kecuali hukum shalat, zakat, puasa, haji dan hukum lain yang pelaksanaannya mengharuskan syarat harus Muslim. Mereka tidak dituntun untuk berjihad, tetapi dibolehkan ikut.

Hak Memiliki Rumah Ibadah

Hak memeluk akidah dan menjalankan ibadah bagi warga non-Muslim mencakup di dalamnya hak untuk memiliki rumah ibadah. Karena itu, rumah ibadah ini merupakan harta mereka yang harus dijaga. Selain itu, ketentuan ini juga didasarkan pada larangan menghancurkan rumah ibadah, sebagaimana dinyatakan dalam fiman Allah SWT:

وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا

Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia atas sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah (QS al-Hajj [22]: 40).

Imam al-Qurtubi memaknai ayat ini, bahwa sekiranya Allah SWT tidak memerintahkan para nabi untuk memerangi musuh-musuh mereka, niscaya orang musyrik akan dengan mudah menguasai dan menghancurkan rumah-rumah ibadah itu. Beliau menambahkan, bahwa kewajiban jihad ini merupakan kewajiban yang juga dibebankan kepada para nabi terdahulu. Selanjutnya, mengutip pendapat Ibn Huwaiz, beliau menyatakan, ayat ini berisi larangan menghancurkan tempat-tempat ibadah Ahli Dzimmah, tetapi mereka tidak boleh dibiarkan membuat tempat ibadah baru (selain yang mereka miliki saat perjanjian), dilarang pula memperluas dan meninggikannya.5

Larangan untuk membangun rumah ibadah yang baru juga merupakan kesepakatan para fukaha. Sebab, hal itu bisa menampakkan dan meninggikan simbol-simbol kekufuran. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Ibn ‘Adi dari ‘Umar bin al-Khatthab, juga bersabda:

لاَ تُبْنَى كَنِيْسَةٌ فِي الإسْلاَمِ وَلاَ يُجَدَّدُ ماَ خُرِبَ مِنْهَا

Tidak boleh membangun gereja (dalam wilayah Negara Islam) dan tidak pula memperbarui yang sudah runtuh.

Para fukaha memahami konteks hadis ini adalah untuk wilayah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim dengan pengerahan kekuatan (‘anwah), sehingga tanahnya menjadi hak kaum Muslim, baik raqabah (zat)-nya ataupun manfa’ah (kegunaan)-nya. Namun, jika berada di wilayah yang dibuka dengan sulh (perjanjian), maka diserahkan kepada Khalifah. Khalifah Umar Ibn al-Khaththab, ketika melakaukan sulh dengan kaum Nasrani Syam, menulis surat yang berisi larangan membangun tempat ibadah baru di tempat mereka.6

Hadis di atas juga menjadi dalil atas larangan membangun kembali bangunan gereja yang telah hancur. Adapun merenovasi gereja dibolehkan, karena tidak termasuk ihdast (membuat baru), tetapi hanya istidamah (menjaga keberadaanya). Perincian hal ini telah banyak dibahas oleh para fukaha dalam kitab-kitab fikih mereka.

Penyebaran Agama Lain

Warga negara non-Muslim dilarang menyebarkan ajaran agama mereka di wilayah Negara Khilafah. Sebab, hal itu termasuk perkara yang membatalkan status dzimmah mereka (naqidhan lil ‘ahd), yaitu dengan menimbulkan fitnah di tengah-tengan kaum Muslim. Keluar dari ajaran Islam (murtad) merupakan umm al-jara’im (induk kriminal). Pelakunya harus segara diajak kembali kepada Islam. Jika menolak, ia dikenakan had al-qatl (sanksi hukuman mati).

Karena itu, upaya mengajak seseorang untuk murtad dari Islam merupakan pelanggaran besar. Jika itu dilakukan oleh Ahli Dzimmah, perjanjian mereka batal demi hukum. Demikian kesepakatan para fukaha.7

Jaminan Keamanan bagi Ahli Dzimmah

Orang non-Muslim yang hidup dan menjadi warga Negara Khilafah mendapatkan perlakukan dan hak yang sama dengan kaum Muslim. Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana darah dan harta kaum Muslim. Diriwayatkan al-Khathib dari Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa menyakiti dzimmi, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya pada Hari Kiamat (HR as-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir).

Hadis ini menjadi dalil atas larangan menyakiti warga non-Muslim, baik terhadap diri, kehormatan, ataupun harta mereka. Siapapun yang mencederai orang non-Muslim akan terkena diyat, sebagaimana yang dikenakan ketika mereka melakukankannya terhadap kaum Muslim. Siapa saja yang membunuh salah seorang di antara mereka akan dikenai had qishash. Jika hartanya dicuri, maka pencurinya dikenai hukum potong tangan. Demikian seterusnya.

Praktik seperti ini telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, terutama ketika kaum Muslim berada di puncak kejayaan dan kekuatannya. WalLahu a’lam. []

Catatan kaki:

1 Muqaddimatu ad-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu al-Qism al-Awwal, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 2009, hlm. 23-28. Lihat juga: Dr. Kamal Sa’id Habib, Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 2007, hlm. 88.

2 Muqaddimatu ad-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu al-Qism al-Awwal, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 2009, hlm. 29-36.

3 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz’ at-Tsalits, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 2005, hlm. 30-32.

4 Abu ‘Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 2009, hal. ; Ibn Hajar al-Asqalani, Talhish al-Habir fi Ahadits ar-Rafi’i al-Kabir, Madinah al-Munawwarah, 1964, IV/122.

5 Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, XII/68.

6 Ibn Qudamah, Al-Mughni, VIII/524; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX/202; Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mawsu’ah Fiqh ‘Umar bin al-Khatthab, Dar an-Nafais, Beirut, cet. V, 1997, hlm. 408-409.

7 Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mawsu’ah Fiqh ‘Umar bin al-Khatthab, Dar an-Nafais, Beirut, cet. V, 1997, hlm. 417.




http://hizbut-tahrir.or.id/

At Ta’rif bi Asy Syaikh Taqiyuddin An Nabhani


At Ta’rif bi Asy Syaikh Taqiyuddin An Nabhani
1. Nasab
Beliau adalah Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Nama An Nabhani dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, satu kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim, wilayah Haifa, Palestina Utara.
2. Kelahiran dan Pertumbuhan
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayah beliau sendiri, seorang syaikh yang faqih fid din. Ayah beliau seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina.
Ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini adalah seorang qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah. Mengenai Syaikh Yusuf An Nabhani ini, beberapa penulis biografi menyebutkan:
“(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad An Nabhani Asy Syafi’i. Julukannya Abul Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadha’) di Qushbah Janin, termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Konstantinopel (Istambul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di Al Ladziqiyah, kemudian di Al Quds. Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis banyak kitab yang jumlahnya mencapai 80 buah.”
Pertumbuhan Syaikh Taqiyuddin dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidup beliau.
Beliau telah hafal Al Qur’an seluruhnya dalam usia yang amat muda, yaitu di bawah usia 13 tahun. Beliau banyak mendapat pengaruh dari kakek beliau, Syaikh Yusuf An Nabhani, dan menimba ilmu beliau yang luas. Syaikh Taqiyuddin juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, mengingat kakek beliau mengalami langsung peristiwa-peristiwanya karena mempunyai hubungan erat dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu.
Beliau banyak menarik pelajaran dari majelis dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh kakek beliau, Syaikh Yusuf An Nabhani. Kecerdasan dan kecerdikan Syaikh Taqiyuddin yang nampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya.
Oleh karenanya, kakek beliau begitu memperhatikan Syaikh Taqiyuddin dan berusaha meyakinkan ayah beliau (Syaikh Ibrahim bin Musthafa) mengenai perlunya mengirim Syaikh Taqiyuddin ke Al Azhar untuk melanjutkan pendidikan beliau dalam ilmu syariah.
3. Ilmu dan Pendidikan
Syaikh Taqiyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syariah dari ayah dan kakek beliau, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur’an sehingga beliau hafal Al Qur’an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim.
Kemudian beliau berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di Al Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani.
Syaikh Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu, beliau banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh Al Azhar, semisal Syaikh Muhammad Al Hidhir Husain –rahimahullah– seperti yang pernah disarankan oleh kakek beliau. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al Azhar membolehkannya.
Meskipun Syaikh Taqiyuddin menghimpun sistem Al Azhar lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan belajar.
Syaikh Taqiyuddin telah menarik perhatian kawan-kawan dan dosen-dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat serta hujjah yang beliau lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi pemikiran, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada saat itu di Kairo dan di negeri-negeri Islam lainnya.
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.
Dalam forum-forum halaqah ilmiah tersebut, An Nabhani dikenal oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan Al Azhar, sebagai sosok yang mempunyai pemikiran yang genial, dengan pendapat yang kokoh, pemahaman dan pemikiran yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk meyakinkan orang dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi pemikiran. Demikian juga beliau sangatlah bersungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat dalam memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar.
4. Bidang-bidang Aktivitas
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Di samping itu beliau juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haifa.
Beliau sering berpindah-pindah lebih dari satu kota dan sekolah semenjak tahun 1932 sampai tahun 1938, ketika beliau mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah. Beliau lebih mengutamakan bekerja di bidang peradilan (qadha’) karena beliau menyaksikan pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan yang lebih besar daripada bidang peradilan, terutama peradilan syar’iy. Dalam kaitan ini beliau berkata:
“Adapun golongan terpelajar, maka para penjajah di sekolah-sekolah misionaris sebelum adanya pendudukan, dan di seluruh sekolah setelah pendudukan, telah menetapkan sendiri kurikulum-kurikulum pendidikan dan tsaqafah (kebudayaan) berdasar filsafat, hadharah (peradaban) dan pemahaman kehidupan mereka yang khas. Kemudian tokoh-tokoh Barat dijadikan sumber tsaqafah sebagaimana sejarah dan kebangkitan Barat dijadikan sumber asal bagi apa yang mengisi pemikiran kita.”
Oleh karenanya, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani lalu menjauhi bidang pengajaran dalam Kementerian Pendidikan, danmulai mencari pekerjaan lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih sedikit. Beliau tak mendapatkan pekerjaan yang lebih afdhal selain pekerjaan di Mahkamah Syar’iyah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara’. Dalam hal ini beliau berkata:
“Adapun An Nizhamul Ijtima’iy (hukum-hukum syariah yang mengatur hubungan pria dan wanita) dan segala hal yang merupakan konsekuensinya (yakni Al Ahwalu Asy Syakhshiyyah), tetap menerapkan syari’at Islam sampai sekarang, meskipun telah berlangsung penjajahan dan penerapan hukum-hukum kufur. Tidak diterapkan sama sekali selain Syari’at Islam di bidang itu sampai saat ini…”
Maka dari itu, Syaikh Taqiyuddin sangat berkeinginan untuk bekerja di Mahkamah Syar’iyah. Dan ternyata banyak kawan beliau —yang pernah sama-sama belajar di Al Azhar— yang bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Syaikh Taqiyuddin akhirnya dapat diangkat sebagai sekretaris di Mahkamah Syar’iyah Beisan, lalu dipindah ke Thabriya.
Namun demikian, karena beliau mempunyai cita-cita dan pengetahuan di bidang peradilan, beliau terdorong untuk mengajukan permohonan kepada Al Majelis Al Islamy Al A’la, untuk mendapatkan hak menangani peradilan. Beliau menganggap bahwa dirinya mempunyai kecakapan untuk menangani masalah peradilan.
Setelah para pejabat peradilan menerima permohonannya, mereka lalu memindahkan beliau ke Haifa dengan tugas sebagai Kepala Sekretaris (Basy Katib) di Mahkamah Syar’iyah Haifa. Kemudian pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai Musyawir (Asisten Qadhi) dan beliau terus memegang kedudukan ini hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadhi di Mahkamah Ramallah sampai tahun 1948. Setelah itu, beliau keluar dari Ramallah menuju Syam sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.
Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya Al Ustadz Anwar Al Khatib mengirim surat kepada beliau, yang isinya meminta beliau agar kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syar’iyah Al Quds. Syaikh Taqiyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian beliau diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syar’iyah Al Quds pada tahun 1948.
Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syar’iyah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu —yakni Al Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih— beliau lalu diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf (Banding), dan beliau tetap memegang kedudukan itu sampai tahun 1950. Pada tahun 1950 inilah, beliau lalu mengajukan permohonan pengunduran diri, karena beliau mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majelis Niyabi (Majelis Perwakilan).
Pada tahun 1951, Syaikh An Nabhani mendatangi kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai awal tahun 1953, ketika beliau mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah beliau rintis antara tahun 1949 hingga 1953.
5. Aktivitas Politik
Sejak remaja Syaikh An Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani, yang pernah terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat, seperti Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan (modernisme), tokoh-tokoh Freemasonry, dan pihak-pihak lain yang membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah.
Perdebatan-perdebatan politik dan aktivitas geraknya di antara para mahasiswa di Al Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula kepeduliannya akan masalah-masalah politik.
Beberapa sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya yang menggaungkan seruan-seruan yang bersifat menantang, yang mampu memimpin situasi Al Azhar saat itu. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama Al Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam.
Sebenarnya ketika Syaikh An Nabhani kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemuinya, mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau juga membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau sodorkan, hujjah beliau senantiasa kuat. Beliau memang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.
Ketika beliau pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau pun lalu mengadakan kontak dengan para ulama yang pernah beliau kenal dan beliau temui di Mesir. Kepada mereka beliau mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka.
Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah daging dalam jiwa beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama maupun para pemikir. Kedudukan beliau di Mahkamah Isti’naf di Al Quds sangat membantu aktivitas beliau tersebut. Dengan demikian, beliau dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam kesempatan itu, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Beliau banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam (Jam’iyat Islamiyah) dan partai-partai politik yang bercorak nasionalis dan patriotis.
Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rusaknya kegiatan mereka.
Selain itu, beliau juga sering melontarkan berbagai masalah politik dalam khutbah-khutbah yang beliau sampaikan pada acara-acara keagamaan di masjid-masjid, seperti di Al Masjidil Aqsha, masjid Al Ibrahim Al Khalil (Hebron), dan lain-lain.
Dalam kesempatan seperti itu beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahwa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat dan membeberkan niat-niat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahwa kaum muslimin berkewajiban untuk mendirikan partai politik yang berasaskan Islam.
Semua ini ternyata membuat murka Raja Abdullah bin Al Hussain, lalu dipanggillah Syaikh An Nabhani untuk menghadap kepadanya, terutama karena khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus.
Beliau disuruh hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Yordania. Namun Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah berpura-pura tidak mendengar. Ini membuat Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya tiga kali berturut-turut. Akan tetapi Syaikh Taqiyuddin tetap tidak menjawabnya.
Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepada beliau, “Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?”
Lalu, Syaikh Taqiyuddin berkata kepada dirinya sendiri, “Kalau aku lemah untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti?”
Kemudian Syaikh Taqiyuddin bangkit dari duduknya seraya berkata, “Aku telah berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik!”
Maka marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir Syaikh Taqiyuddin dari majelis tersebut dan menangkap beliau. Dan kemudian Syaikh Taqiyuddin benar-benar ditangkap.
Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan maaf dari beberapa ulama atas sikap Syaikh Taqiyuddin tersebut lalu memerintahkan pembebasannya, sehingga Syaikh Taqiyuddin tidak sempat bermalam di tahanan.
Beliau lalu kembali ke Al Quds dan sebagai akibat kejadian tadi, beliau mengajukan pengunduran diri dan menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas apa pun dari sebuah pemerintahan.”
Syaikh Taqiyuddin kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki Majelis Perwakilan. Namun karena sikap-sikapnya yang dinilai menyulitkan, aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk membentuk sebuah partai politik, dan keteguhannya berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil pemilu menunjukkan bahwa Syaikh Taqiyuddin dianggap tidak layak untuk duduk dalam Majelis Perwakilan.
Namun demikian, aktivitas politik Syaikh Taqiyuddin tidaklah mandeg dan tekadnya pun tiada pernah luntur. Beliau terus mengadakan kontak-kontak dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya beliau berhasil meyakinkan sejumlah ulama dan qadhi terkemuka serta para tokoh politikus dan pemikir untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam.
Beliau lalu menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi partai tersebut. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau ini dapat diterima dan disetujui oleh para ulama tersebut. Maka aktivitas beliau pun menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir.
Publikasi pembentukan partai ini secara resmi tersiar pada tahun 1953, pada saat Syaikh Taqiyuddin An Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya.
Dalam surat itu terdapat pula struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut:
1. Taqiyuddin An Nabhani, sebagai pemimpin Hizbut Tahrir.
2. Dawud Hamdan, sebagai wakil pemimpin merangkap sekretaris.
3. Ghanim Abduh, sebagai bendahara.
4. Dr. Adil An Nablusi, sebagai anggota.
5. Munir Syaqir, sebagai anggota.
Berdasarkan permohonan yang diajukan tadi, di mana pihak pemerintah diharapkan dapat memaklumi pendirian sebuah partai politik, maka Hizbut Tahrir pun lalu menyewa sebuah rumah di kota Al Quds dan memasang papan nama yang mencantumkan nama Hizbut Tahrir. Akan tetapi Departemen Dalam Negeri Yordania lantas mengirimkan sepucuk surat kepada Hizbut Tahrir yang melarangnya untuk melakukan aktivitas. Inilah teks suratnya:
No: ND/70/52/916
Tanggal: 14 Maret 1953
Kepada Yang Terhormat:
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani
dan seluruh pendiri Hizbut Tahrir
Saya telah meneliti berita yang dilansir oleh surat kabar Ash Sharih edisi hari ini yang berjudul:
“Organisasi Pembebasan (Hai’atut Tahrir): Pembentukan Partai Politik Secara Resmi di Al Quds.”, “Hai’atut Tahrir, Pembentukan Partai Politik Secara Resmi”, Harian Ash Sharih yang terbit di Yordania, pada tanggal 14 Maret 1953.
Saya berharap dapat memberi pengertian kepada Anda sekalian, bahwa apa yang dilansir mengenai pembentukan partai secara resmi di Al Quds itu, ternyata tidak dapat dibenarkan. Selain itu, kami beritahukan bahwa surat balasan yang Anda terima dari Kepala Kantor saya, menjelaskan bahwa permohonan Anda telah sampai kepada saya.
Bahwasanya, Undang-Undang Dasar yang ada tidak mengizinkan aktivitas Anda sekalian. Hal itu karena izin dan pengakuan pembentukan partai, tergantung kepada kepentingan negara –seperti yang saya sampaikan melalui beberapa catatan yang dikirimkan kepada Anda sekalian—yang ternyata tidak mengizinkan adanya pendirian partai.
Atas Nama Departemen Dalam Negeri,
Ali Hasanah
Atas dasar surat ini, pihak kepolisian segera menyerbu rumah yang disewa Hizbut Tahrir tersebut dan mencabut papan nama yang ada di sana. Hizbut Tahrir lalu dilarang untuk melakukan kegiatan apa pun. Sejak saat itu –dan bahkan sampai saat ini– Hizbut Tahrir tidak dibolehkan melakukan aktivitas dan segala aktivitasnya pun dilarang.
Namun demikian, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani sama sekali tidak peduli dan tak menggubris semua itu, bahkan beliau tetap bersiteguh untuk melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah beliau tetapkan sebagai asas-asas bagi Hizbut Tahrir. Beliau memang sangat menaruh harapannya untuk membangkitkan umat Islam pada Hizbut Tahrir, gerakan yang telah beliau dirikan dan beliau tetapkan falsafahnya dengan karakter-karakter tertentu yang beliau gali dari nash-nash syara’ dan sirah Nabi SAW.
Oleh karena itu, Syaikh Taqiyuddin kemudian menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizbut Tahrir, di mana beliau sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizbut Tahrir ini sampai wafatnya beliau pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M. Sepanjang masa kepemimpinan beliau, beliau telah melakukan berbagai kegiatan politik yang luas. Hasil yang paling gemilang, ialah beliau mewariskan kepada kita sebuah partai politik yang bermutu tinggi, kuat, dan tersebar luas di seluruh dunia.
Surat kabar Ash Sharih, terbit di Yordania tanggal 14 Maret 1953. Demikian juga wawancara langsung Menteri Dalam Negeri dengan sekretaris Hizbut Tahrir dan Ghanim Abduh.
Semua upaya beliau ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizbut Tahrir sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, kendatipun Hizbut Tahrir tetap tergolong partai terlarang di seluruh negara di dunia.
Di bawah kepemimpinan beliau, Hizbut Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambilalihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan di Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebagian upaya kudeta ini diumumkan secara resmi oleh media massa, sedang sebagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan.
Selain itu, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan banyak selebaran (nasyrah) politik yang penting, yang membeberkan berbagai persekongkolan jahat untuk melawan umat Islam. Hizbut Tahrir juga banyak mengirimkan memorandum politik penting kepada para politikus dan penguasa di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan maksud agar mereka mundur dari pemerintahan dan menyerahkannya kepada Hizbut Tahrir. Atau dengan maksud memberi nasehat dan peringatan atas tindakan-tindakan mereka yang dianggap sebagai tindak pengkhianatan kepada umat. Atau dengan maksud mengancam mereka bahwa umat suatu saat akan mengoreksi dan memperhitungkan tindakan-tindakan mereka.
Walhasil, aktivitas politik merupakan aspek paling menonjol dalam kehidupan Syaikh Taqiyuddin. Bahkan sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa beliau adalah Hizbut Tahrir itu sendiri, karena kemampuan beliau yang tinggi untuk melakukan analisis politik, sebagaimana yang nampak dalam kecermatan selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Beliau juga banyak menelaah peristiwa-peristiwa politik, lalu mendalaminya dengan amat cermat, disertai pemahaman sempurna terhadap situasi-situasi politik dan ide-ide politik yang ada.
Maka, mereka yang mencermati selebaran-selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, juga kitab-kitab mengenai politik yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin, serta garis-garis besar langkah politik yang beliau susun untuk membina pemikiran politik syabab (pemuda) Hizbut Tahrir, akan dapat menyimpulkan bahwa Syaikh Taqiyuddin memang benar-benar mempunyai kemampuan luar biasa dalam masalah politik. Sungguh, beliau termasuk salah seorang pemikir dan politikus terulung pada abad XX ini.
Karya-Karya
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani wafat tahun 1398 H/1977 M dan dikuburkan di Pekuburan Al Auza’i di Beirut. Beliau telah meninggalkan kitab-kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Karya-karya ini menunjukkan bahwa Syaikh Taqiyuddin An Nabhani mempunyai pemikiran yang brilian dan analisis yang cermat. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizbut Tahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, maupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial. Inilah yang mendorong sebagian peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin An Nabhani.
Kebanyakan karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani berupa kitab-kitab tanzhiriyah (penetapan pemahaman/pandangan) dan tanzhimiyah (penetapan peraturan), atau kitab-kitab yang dimaksudkan untuk mengajak kaum muslimin untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan Daulah Islamiyah. Al Ustadz Dawud Hamdan telah menjelaskan karakter kitab-kitab Syaikh Taqiyuddin –yang termasuk kitab-kitab yang disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir– secara mendalam dan tepat dengan pernyataannya:
“Sesungguhnya kitab ini –yakni kitab Ad Daulah Al Islamiyyah– bukanlah sebuah kitab untuk sekedar dipelajari, akan tetapi kitab ini dan kitab lainnya yang telah disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir –seperti kitab Usus An Nahdlah, Nizhamul Islam, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, An Nizham Al Iqthishady fi Al Islam, Nizham Al Hukm, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, At Takattul Al Hizbi, Mafahim Hizhut Tahrir, Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir—menurut saya adalah kitab yang dimaksudkan untuk membangkitkan kaum muslimin dengan jalan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islamiyah.”
Oleh karena itu, kitab-kitab Syaikh Taqiyuddin terlihat istimewa karena mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan problematika manusia. Kitab-kitab yang membahas aspek-aspek kehidupan individu, politik, kenegaraan, sosial, dan ekonomi tersebut, merupakan landasan ideologis dan politis bagi Hizbut Tahrir, di mana Syaikh Taqiyuddin menjadi motornya.
Karena beraneka ragamnya bidang kajian dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin, maka tak aneh bila karya-karya beliau mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik yang beliau tulis untuk memecahkan berbagai masalah politik. Belum lagi banyak selebaran-selebaran dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah pemikiran dan politik yang penting.
Karya-karya Syaikh Taqiyuddin, baik yang berkenaan dengan politik maupun pemikiran, dicirikan dengan adanya kesadaran, kecermatan, dan kejelasan, serta sangat sistematis, sehingga beliau dapat menampilkan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan komprehensif yang diistinbath dari dalil-dalil syar’i yang terkandung dalam Al Kitab dan As Sunnah. Karya-karya beliau dapat dikatakan sebagai buah usaha keras pertama yang disajikan oleh seorang pemikir muslim pada era moderen ini di dalam jenisnya.
Karya-karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihad beliau antara lain :
1. Nizhamul Islam.
2. At Takattul Al Hizbi.
3. Mahafim Hizbut Tahrir.
4. An Nizhamul Iqthishadi fil Islam.
5. An Nizhamul Ijtima’i fil Islam.
6. Nizhamul Hukm fil Islam.
7. Ad Dustur.
8. Muqaddimah Dustur.
9. Ad Daulah Al Islamiyah.
10. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah (3 jilid).
11. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
12. Nazharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
13. Nida’ Haar.
14. Al Khilafah.
15. At Tafkir.
16. Ad Dusiyah.
17. Sur’atul Badihah.
18. Nuqthatul Inthilaq.
19. Dukhulul Mujtama’.
20. Inqadzu Falisthin.
21. Risalatul Arab.
22. Tasalluh Mishr.
23. Al Ittifaqiyyah Ats Tsuna’iyyah Al Mishriyyah As Suriyyah wal Yamaniyyah.
24. Hallu Qadhiyah Falisthin ‘ala Ath Thariqah Al Amirikiyyah wal Inkiliziyyah.
25. Nazhariyatul Faragh As Siyasi Haula Masyru’ Aizanhawar.
Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir –dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau sebarluaskan– setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya Syaikh Taqiyuddin. Di antara kitab itu adalah:
1. As Siyasah Al Iqthishadiyah Al Mutsla.
2. Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah.
3. Kaifa Hudimat Al Khilafah.
4. Ahkamul Bayyinat.
5. Nizhamul Uqubat.
6. Ahkamush Shalat.
7. Al Fikru Al Islami.
Dan apabila karya-karya Syaikh Taqiyuddin tersebut ditelaah dengan seksama, terutama yang berkenaan dengan aspek hukum dan ilmu ushul, akan nampak bahwa beliau sesungguhnya adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fuqaha dan mujtahidin terdahulu. Hanya saja, beliau tidak mengikuti salah satu aliran dalam ijtihad yang dikenal di kalangan Ahlus Sunnah. Artinya, beliau tidak mengikuti suatu madzhab tertentu di antara madzhab-madzhab fiqih yang telah dikenal, akan tetapi beliau memilih dan menetapkan (men-tabanni) ushul fiqih tersendiri yang khusus baginya, lalu atas dasar itu beliau mengistinbath hukum-hukum syara’.
Namun perlu diingat di sini bahwa ushul fiqih Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqih Sunni, yang membatasi dalil-dalil syar’i pada Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas Syar’iy, yakni Qiyas yang illat-nya terdapat dalam nash-nash syara’ semata.
oleh Abu Sarah Agus Trisa
http://dreamlandaulah.wordpress.com/