Sebuah renungan : Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.

Sistem Pemerintahan Islam

Syabab.Com - Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undang-undangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Hal ini karena:
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan. Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Sistem pemerintahan Islam juga tidak menyerupai sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan; umat tidak ada hubungannya dengan pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat khalifah.
Sistem kerajaan juga memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat. Hal itu menjadikan raja berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol bagi rakyat, yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah, seperti yang ada dalam beberapa sistem kerajaan; atau ia menduduki jabatan raja sekaligus memerintah untuk  mengatur negeri dan penduduknya sesuai dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang ada dalam beberapa sistem kerajaan yang lain. Raja tetap tidak tersentuh hukum meskipun ia berbuat buruk atau zalim. Sebaliknya, dalam sistem Khilafah, Khalifah tidak diberi kekhususan dengan keistimewaan yang menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana seorang raja.  Khalifah juga tidak diberi kekhususan dengan hak-hak khusus yang mengistimewakannya—di hadapan pengadilan—dari individu-individu umat.
Khalifah juga bukanlah simbol umat dalam pengertian seperti raja dalam sistem kerajaan. Akan tetapi, Khalifah merupakan wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat.
Sistem pemerintahan Islam juga bukan merupakan sistem imperium (kekaisaran).  Sebab, sesungguhnya sistem imperium itu sangat jauh dari Islam. Berbagai wilayah yang diperintah oleh Islam—meskipun penduduknya berbeda-beda suku dan warna kulitnya, yang semuanya kembali ke satu pusat—tidak diperintah dengan sistem imperium, tetapi dengan sistem yang bertentangan dengan sistem imperium. Sebab, sistem imperium tidak menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di wilayah-wilayah dalam imperium. Akan tetapi, sistem imperium memberikan keistimewaan kepada pemerintahan pusat imperium; baik dalam hal pemerintahan, harta, maupun perekonomian.
Metode Islam dalam memerintah adalah menyamakan seluruh orang yang diperintah di seluruh wilayah negara. Islam menolak berbagai sentimen primordial (‘ashbiyât al-jinsiyyah). Islam memberikan berbagai hak pelayanan dan kewajiban-kewajiban kepada non-Muslim yang memiliki kewarganegaraan sesuai dengan hukum syariah. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim secara adil. Bahkan lebih dari itu, Islam tidak menetapkan bagi seorang pun di antara rakyat di hadapan pengadilan—apapun mazhabnya—sejumlah hak istimewa yang tidak diberikan kepada orang lain, meskipun ia seorang Muslim. Sistem pemerintahan Islam, dengan adanya kesetaraan ini, jelas berbeda dari imperium.
Dengan sistem demikian, Islam tidak menjadikan berbagai wilayah kekuasaan dalam negara sebagai wilayah jajahan, bukan sebagai wilayah yang dieksploitasi, dan bukan pula sebagai “tambang” yang dikuras untuk kepentingan pusat saja. Akan tetapi, Islam menjadikan semua wilayah kekuasaan negara sebagai satu-kesatuan meskipun jaraknya saling berjauhan dan penduduknya berbeda-beda suku. Semua wilayah dianggap sebagai bagian integral dari tubuh negara.  Seluruh penduduk wilayah memiliki hak seperti penduduk pusat atau wilayah lainnya. Islam menetapkan kekuasaan, sistem, dan peraturan pemerintahan adalah satu untuk semua wilayah.
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem federasi. Dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain dengan memiliki kemerdekaan sendiri, dan mereka dipersatukan dalam masalah pemerintahan (hukum) yang bersifat umum. Sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Dalam sistem pemerintahan Islam, Marokes di barat dan Khurasan di timur dinilai sebagaimana Propinsi al-Fiyum jika ibukota negaranya di Kairo. Keuangan seluruh wilayah (propinsi) dianggap sebagai satu-kesatuan dan APBN-nya juga satu, yang dibelanjakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat tanpa memandang propinsinya. Seandainya suatu propinsi pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya, maka propinsi itu dibiayai sesuai dengan kebutuhannya, bukan menurut pemasukannya. Seandainya pemasukan suatu propinsi tidak mencukupi kebutuhannya maka hal itu tidak diperhatikan, tetapi akan dikeluarkan biaya dari APBN sesuai dengan kebutuhan propinsi itu, baik pemasukannya mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem republik. Sistem republik pertama kali tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap penindasan sistem kerajaan (monarki). Sebabnya, raja memiliki kedaulatan dan kekuasaan sehingga ia memerintah dan bertindak atas negeri dan penduduk sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Rajalah yang menetapkan undang-undang menurut keinginannya. Lalu datanglah sistem republik, kemudian kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat dalam apa yang disebut dengan demokrasi. Rakyatlah yang kemudian membuat undang-undang; yang  menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela. Lalu pemerintahan berada di tangan presiden dan para menterinya dalam sistem republik presidentil dan di tangan kabinet dalam sistem republik parlementer. (Contohnya—menyangkut pemerintahan di tangan kabinet—ada di dalam sistem monarki yang kekuasaan pemerintahannya dicabut dari tangan raja;  ia hanya menjadi simbol: ia menjabat raja, tetapi tidak memerintah).
Adapun dalam Islam, kewenangan untuk melakukan legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada Allah. Tidak seorang pun selain Allah dibenarkan menentukan halal dan haram.  Dalam Islam, menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan kejahatan besar.  Allah SWT berfirman:

Mereka telah menjadikan para pembesar mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.
(QS at-Taubah [9]: 31).

Ketika turun ayat di atas, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sesungguhnya para pembesar dan para rahib telah membuat hukum, karena mereka telah menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu mayarakat menaati mereka. Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para pembesar dan para rahib itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Demikian sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw. ketika menjelaskan maksud ayat tersebut. Penjelasan Rasul mengenai maksud ayat tersebut menunjukkan betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram selain Allah.  Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari jalan Adi bin Hatim yang  berkata:

Aku pernah datang kepada Nabi saw., sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas.  Nabi saw. lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!” Aku lalu mendengar Beliau membaca al-Quran surat at-Taubah ayat 31 (yang artinya):  Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.  Nabi saw. kemudian bersabda, “Benar, mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu. Akan tetapi, ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi mereka,  mereka pun menghalalkannya, dan jika para pembesar dan para rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR at-Tirmidzi).

Pemerintahan dalam Islam juga tidak dengan metode kabinet, yang mana setiap departemen memiliki kekuasaan, wewenang, dan anggaran yang terpisah satu sama lain; ada yang lebih banyak dan ada yang lebih sedikit.  Keuntungan satu departemen tidak akan ditransfer ke departemen lain kecuali dengan mekanisme yang panjang. Hal ini mengakibatkan banyaknya hambatan untuk mengatasi berbagai kepentingan rakyat, karena banyaknya intervensi dari beberapa departemen hanya untuk mengurus satu kemaslahatan rakyat saja. Padahal seharusnya berbagai kemaslahatan rakyat itu dapat ditangani oleh satu struktur administrasi saja.
Dalam sistem republik, pemerintahan didistribusikan di antara departemen yang disatukan dalam kabinet yang memegang kekuasaan secara kolektif. Dalam Islam tidak terdapat departemen yang memiliki kekuasaan pemerintahan secara keseluruhan (menurut bentuk demokrasi). Akan tetapi, Khalifah dibaiat oleh umat untuk memerintah mereka menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Khalifah berhak menunjuk para mu‘âwin (wazîr tafwîdh) untuk membantunya mengemban tanggung jawab kekhilafahan. Mereka adalah para wazîr—dalam makna bahasa—yaitu para pembantu (mu‘âwin) Khalifah dalam masalah-masalah yang ditentukan oleh Khalifah.
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi ini, baik dari segi bahwa kekuasaan membuat hukum—menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela—ada di tangan rakyat maupun dari segi tidak adanya keterikatan dengan hukum-hukum syariah dengan dalih kebebasan. Orang-orang kafir memahami betul bahwa kaum Muslim tidak akan pernah menerima demokrasi dengan pengertiannya yang hakiki itu. Oleh karena itu, negara-negara kafir penjajah (khususnya AS saat ini) berusaha memasarkan demokrasi di negeri-negeri kaum Muslim. Mereka berupaya memasukkan demokrasi itu ke tengah-tengah kaum Muslim melalui upaya penyesatan (tadhlîl), bahwa demokrasi merupakan alat untuk memilih penguasa.
Anda bisa melihat, mereka mampu menghancurkan perasaan kaum Muslim dengan seruan demokrasi itu, dengan memfokuskan pada seruan demokrasi sebagai pemilihan penguasa. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran yang menyesatkan kepada kaum Muslim, yakni seakan-akan perkara yang paling mendasar dalam demokrasi adalah pemilihan penguasa.  Karena negeri-negeri kaum Muslim saat ini sedang ditimpa penindasan, kezaliman, pembungkaman, dan tindakan represif penguasa diktator, baik mereka berada dalam sistem yang disebut kerajaan ataupun republlik; sekali lagi kami katakan, karena negeri-negeri Islam mengalami semua kesengsaraan tersebut maka kaum kafir dengan mudah memasarkan demokrasi di negeri-negeri kaum Muslim sebagai aktivitas memilih penguasa.
Mereka berupaya menutupi dan melipat bagian mendasar dari demokrasi itu sendiri, yaitu tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta menetapkan halal dan haram berada di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan manusia. Bahkan sebagian aktivis Islam, termasuk di antaranya adalah para syaikh (guru besar), mengambil tipuan itu; baik dengan niat yang baik maupun buruk. Jika Anda bertanya kepada mereka tentang demokrasi, mereka menjawab bahwa demokrasi hukumnya boleh dengan anggapan, demokrasi adalah memilih penguasa. Adapun mereka yang memiliki niat buruk berupaya menutupi, melipat, dan menjauhkan pengertian hakiki demokrasi sebagaimana yang ditetapkan oleh penggagas demokrasi itu sendiri.
Menurut mereka, demokrasi bermakna: kedaulatan ada di tangan rakyat—yang berwenang membuat  hukum sesuai dengan kehendak mereka berdasarkan suara mayoritas, menghalalkan dan mengharamkan, serta menetapkan status terpuji dan tercela; individu memiliki kebebasan dalam segala perilakunya—bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, bebas meminum khamr, berzina, murtad, serta mencela dan mencaci hal-hal yang disucikan dengan dalih demokrasi dan kebebasan individual. Inilah hakikat demokrasi. Inilah realita, makna, dan pengertian demokrasi. Lalu bagaimana bisa seorang Muslim yang mengimani Islam mengatakan bahwa demokrasi hukumnya boleh atau bahwa demokrasi itu berasal dari Islam?
Adapun masalah umat memilih penguasa atau memilih Khalifah, hal itu merupakan perkara yang telah dinyatakan di dalam nash-nash syariah. Kedaulatan di dalam Islam ada di tangan syariah. Akan tetapi, baiat dari rakyat kepada Khalifah merupakan syarat mendasar agar seseorang menjadi khalifah. Sungguh, pemilihan Khalifah telah dilaksanakan secara praktis di dalam Islam pada saat seluruh dunia masih hidup di bawah kegelapan, kediktatoran, dan kezaliman para raja. 
Siapa yang mendalami tatacara pemilihan Khulafaur Rasyidin—Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; semoga Allah meridhai mereka—maka ia akan dapat melihat dengan jelas bagaimana dulu telah sempurnanya pembaiatan kepada para khalifah itu oleh ahl al-halli wa al-‘aqdi dan para wakil kaum Muslim.
Dengan baiat itu, masing-masing dari mereka menjadi khalifah yang ditaati oleh kaum Muslim. Abdurrahman bin Auf, yang kala itu telah diangkat menjadi wakil atas sepengetahuan pendapat mereka yang menjadi representasi kaum Muslim (mereka adalah penduduk Madinah), telah berkeliling di tengah-tengah mereka; ia bertanya kapada si anu dan si anu, mendatangi rumah ini dan itu, serta menanyai laki-laki dan perempuan untuk melihat siapa di antara para calon khalifah yang ada, yang mereka pilih untuk menduduki jabatan khalifah. Pada akhirnya, pendapat orang-orang mantap ditujukan kepada Utsman bin Affan, lalu dilangsungkanlah baiat secara sempurna kepadanya.
Ringkasnya, sesungguhnya demokrasi adalah sistem kufur; bukan karena demokrasi mengatakan tentang pemilihan penguasa, dan hal itu juga bukan menjadi masalah mendasar, tetapi karena perkara mendasar dalam demokrasi adalah menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia,  bukan pada Allah, Tuhan alam semesta.  Padahal Allah SWT berfirman:

Menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. (QS Yusuf [10]: 40).

Demi Tuhanmu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (QS an-Nisa’ [4]: 65).

Terdapat banyak dalil (selain ayat-ayat di atas, ed.) yang saling mendukung, yang sudah diketahui bersama, yang menyatakan bahwa kewenangan menetapkan hukum adalah milik Allah SWT.
Apalagi demokrasi juga menetapkan kebebasan pribadi (personal freedom), yang menjadikan laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa memperhatikan halal dan haram. Demokrasi juga menetapkan kebebasan beragama (freedom of religion), di antaranya berupa kebebasan untuk murtad dan gonta-ganti agama tanpa ikatan.  Demokrasi juga menetapkan kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), yang menjadikan pihak yang kuat mengeksploitasi pihak yang lemah dengan berbagai sarana sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Demokrasi pun menetapkan kebebasan berpendapat (freedom of opinion), bukan kebebasan dalam mengatakan yang haq, tetapi kebebasan dalam mengatakan hal-hal yang menentang berbagai kesucian yang ada di tengah-tengah umat. Bahkan mereka menganggap orang-orang yang berani menyerang Islam di bawah slogan kebebasan berpendapat sebagai bagian dari para pakar opini yang sering disebut sebagai para pahlawan.
Atas dasar ini, sistem pemerintahan Islam (Khilafah) bukan sistem kerajaan, bukan imperium, bukan federasi, bukan republik, dan bukan pula sistem demokrasi sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya. [Sumber: Strutkur Daulah Khilafah/syabab.com]

_______________________________________________________
Khilafah menurut Ahlu Sunnah Wal Jama'ah
Pengantar
Telaah kitab kali ini akan mengupas kitab berharga tentang Khilafah. Judulnya Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa  al-Jama’ah, karya Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji (terbit 1987). Kitab setebal 718 halaman ini ditulis Ad-Dumaiji sebagai tesis untuk meraih gelas magister di Universitas Ummul Quro Mekah tahun 1983. Setelah diadakan ujian (munaqasyah) oleh Dewan Penguji, Ad-Dumaiji pun  dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude (mumtaz). Di antara Dewan Penguji itu adalah Syaikh Sayyid Sabiq, seorang ulama yang terkenal dengan kitabnya Fiqih Sunnah.
Bagi para pejuang Khilafah, dan juga umat pada umumnya, kitab ini sangatlah penting. Karena di samping memberikan wawasan ilmiah yang luas mengenai Khilafah, juga akan semakin menambah keyakinan dan kemantapan dalam berjuang. Betapa tidak, karena kitab ini membuktikan Khilafah adalah sangat penting bagi tegaknya Islam dalam kehidupan. Khilafah juga mutlak adanya untuk mengembalikan kemulian umat. Dalam salah satu butir kesimpulannya, Ad-Dumaiji mengatakan,”Tidak ada kemuliaan dan ketinggian derajat bagi umat Islam, kecuali dengan kembali berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta berjuang menegakkan Khilafah Islamiyah yang akan menjaga agama Islam dan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam.” (hal. 516-517)

Garis Besar dan Latar Belakang Kitab
Kitab ini secara garis besar ingin membahas isu-isu terpenting dalam Khilafah, seperti definisi Khilafah dan wajibnya Khilafah, walaupun tidak semua aspek dalam Khilafah terbahas, misalnya lembaga-lembaga negara dalam Khilafah secara lengkap. Ad-Dumaiji membagi kitabnya dalam sebuah mukaddimah, dua bab isi, dan sebuah bab kesimpulan. Dua bab isi itu, yang pertama, mengenai Imamah (Khilafah) menurut Ahlus Sunnah. Yang kedua, mengenai Imam (Khalifah) menurut Ahlus Sunnah.

Bab yang pertama dirinci lagi menjadi empat sub-bab, yaitu : (1) definisi Imamah, (2) wajibnya Imamah dan dalil-dalilnya, (3) tujuan-tujuan Imamah, dan (4) metode pengangkatan Imam. Bab yang kedua juga dirinci lagi, menjadi empat sub-bab, yaitu : (1) syarat-syarat Imam, (2) hak dan kewajiban Imam, (3) pemberhentian Imam, (4) berbilangnya Imam. Bab kesimpulan berisikan 26 butir-butir kesimpulan dari keseluruhan uraian kitab yang panjang lagi lebar.

Sebelum dilanjutkan, perlu klarifikasi dulu mengenai istilah Khilafah dan Imamah. Kedua istilah ini sebenarnya sama saja maknanya alias sinonim. Dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Juz 9 hal. 881, Wahbah Az-Zuhaili berkata, “Patut diperhatikan, bahwa Khilafah, Imamah Kubra, dan Imaratul Mu`minin merupakan istilah-istilah yang sinonim (mutaradif) dengan makna yang sama.”  Jadi, Imamah sama dengan Khilafah, dan Imam sama dengan Khalifah. Ad-Dumaiji sendiri dalam kitabnya hal. 34 juga mengutip pendapat senada dari Muhammad Najib Al-Muthi’i. Dalam takmilah (catatan pelengkap) yang dibuatnya untuk kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (Juz 17/517), Al-Muthi’i berkata,”Khilafah, Imamah, dan Imaratul Mu`minin adalah sinonim.”

Lalu apa latar belakang Ad-Dumaiji menulis kitabnya ini? Ad-Dumaiji menerangkan dalam Mukadimah (hal. 7-10), bahwa yang mendorongnya adalah adanya upaya-upaya jahat berupa tasywih (pencitra-burukan) dan tadnis (pencemaran) terhadap ajaran Khilafah yang telah ada sejak masa awal Islam hingga masa modern kini. Ad-Dumaiji memberikan beberapa contohnya (hal. 8-9). Misalnya pendapat Abdul Hamid Mutawalli dalam Mabadi` Nizham Al-Hukm hal. 162, yang menyatakan bahwa berdirinya Khilafah seperti yang digambarkan para fukaha, adalah mustahil untuk masa sekarang. Contoh lain adalah pendapat Syaikh al-Maraghi (penulis Tafsir Al-Maraghi) yang berkata,”Dimungkinkan sebuah pemerintahan Islam keluar dari agama Islam lalu menjadi sebuah pemerintahan sekuler. Tidak ada larangan untuk itu…seperti halnya negara Turki yang baru.”  (Musthofa Shabri, Mauqif Al-‘Aql wa Al-‘Ilm wa Ad-Din, Juz 4/285).

Latar belakang inilah yang membuat Ad-Dumaiji sangat prihatin dan sekaligus menentukan tujuan penulisan tesisnya. Ad-Dumaiji menyatakan bahwa kitabnya bertujuan untuk membersihkan konsep Imamah dari segala macam debu dan kotoran yang menempel sehingga konsep Imamah menjadi jelas bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran (thalibul haq) (hal. 10).

Beberapa Keunggulan Kitab
Setiap kitab punya keterbatasan dan keunggulan. Oleh Ad-Dumaiji sendiri, diakuinya bahwa kitabnya tidaklah membahas Khilafah secara komprehensif, sebagaimana tujuan awalnya (hal. 10-11). Setelah mengumpulkan sekitar 260 referensi dan menelitinya selama dua tahun, Ad-Dumaiji, akhirnya “menyerah” dan membatasi cakupan pembahasannya. Ad-Dumaiji akhirnya hanya menulis dua bab untuk delapan sub-bab sebagaimana sudah diuraikan di atas.

Untuk itu Ad-Dumaiji “hanya” menulis sebanyak 718 halaman, yang sebenarnya itu pun sudah lumayan tebal. Bandingkan dengan kitab-kitab fiqih siyasah sejenis, semisal kitab Muqaddimah fi Fiqh An-Nizham As-Siyasi Al-Islami karya Muhammad Syakir Asy-Syarif  (61 halaman). Atau kitab An-Nizham As-Siyasi fi Al-Islam karya Dr. Mazin bin Shalah Mathbaqani (63 halaman). Juga kitab Hablul I’tisham fi Wujub Al-Khilafah fi Din Al-Islam karya Sayyid Muhammad Habib al-Mushili (139 halaman). Atau kitab Fiqh Al-Ahkam As-Sulthoniyah karya Abdul Karim Muhammad Muthi' Al-Hamdawi (363 halaman).

Namun demikian, bagaimana pun juga, di balik keterbatasan cakupannya, kitab Ad-Dumaiji ini patut mendapat pujian. Selain ditulis dengan penuh kesungguhan dan kecermatan, kitab ini juga mempunyai beberapa keunggulan. Di antaranya :

1. Kesadaran Akan Situasi Kontemporer
Ad-Dumaiji menunjukkan kesadaran yang tinggi akan situasi kontemporer umat Islam, khususnya setelah hancurnya Khilafah di Turki tahun 1924. Ad-Dumaiji misalnya berkata dengan tajam,”Ketika ‘orang sakit’ (Daulah Utsmaniyah) ini mati, anjing-anjing dunia (kilaab al-dunya) membagi-bagi harta warisannya, dan tertancaplah perpecahan dan permusuhan di antara putera kaum muslimin. Loyalitas (wala`) pun lalu diberikan kepada tanah air, nenek moyang, atau suku, sebagai ganti dari loyalitas dan kecintaan kepada Allah dan karena Allah.” (hal. 7-8).

Tak hanya mempunyai kesadaran politik, Ad-Dumaiji juga mempunyai wawasan pemikiran politik modern yang memadai. Karenanya dia dapat menilai bahwa,”Sistem pemerintahan dalam Islam berbeda dengan seluruh sistem-sistem  pemerintahan buatan manusia, baik yang dahulu maupun sekarang. Perbedaan di antaranya terdapat dalam tujuan, sarana, dan target…” (hal. 575)

Maka bagaikan bumi dan langit, kalau kita bandingkan kesadaran itu dengan kesadaran sebagian ulama negeri ini yang terpengaruh oleh sistem demokrasi yang ada.  Mereka gagal memahami perbedaan mendasar antara sistem Khilafah dengan sistem demokrasi yang kufur. Sebagai contoh, ada ulama yang menganggap bahwa lembaga demokrasi sekarang (DPR dan MPR) adalah sepadan dengan Ahlul Halli wal Aqdi sebagaimana uraian oleh Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah. Padahal Imam Mawardi bicara dalam konteks sistem Imamah (Khilafah), yang berprinsip kedaulatan di tangan syariah. Bukan dalam sistem demokrasi-sekular, yang berprinsip kedaulatan di tangan rakyat.

2. Metode Penulisan Yang Adil
Ad-Dumaiji dalam kitabnya sering kali harus membahas dan menilai berbagai pendapat, baik pendapat yang memang khilafiyah maupun pendapat asing yang lahir dari ideologi kapitalisme-sekular.

Dalam menghadapi masalah khilafiyah, Ad-Dumaiji senantiasa memaparkan hujjah (dalil) masing-masing pendapat, lalu melakukan tarjih untuk memilih pendapat yang terkuat. Jadi tidak sepihak langsung menyatakan pendapat yang dipilih. Sebagai contoh, ada khilafiyah mengenai hukum wajibnya Khilafah, apakah wajibnya itu berdasarkan syara’ (pendapat Ahlus Sunnah) atau berdasarkan akal (pendapat Mu’tazilah). Ad-Dumaiji pun memaparkan dalil masing-masing lalu mentarjih yang terkuat, yaitu wajibnya Khilafah itu adalah berdasarkan syara’ bukan akal (hal. 65-71).

Dalam menghadapi pendapat asing pun Ad-Dumaiji juga bersikap adil. Terhadap sebagian intelektual yang menolak wajibnya Khilafah, seperti Ali Abdur Raziq (dalam kitabnya Al-Islam wa Ushul al-Hukm), Abdul Hamid Mutawalli (dalam kitabnya Mabadi` Nizham Al-Hukm fi Al-Islam), dan Khalid Muhammad Khalid (dalam kitabnya Min Huna Nabda`), Ad-Dumaiji tetap berusaha menelusuri dan menampilkan hujjah mereka, lalu membantahnya dengan telak. Yang menarik, Ad-Dumaiji juga secara jujur menyebutkan “pertobatan intelektual” di antara penentang Khilafah itu. Tentang Khalid Muhammad Khalid, Ad-Dumaiji menulis secara objektif bahwa semula Khalid menolak wajibnya Khilafah. Lalu Khalid "bertobat" dan menarik pendapatnya serta menulis sebuah kitab Ad-Daulah fi al-Islam untuk menasakh kitab sebelumnya yakni Min Huna Nabda` (hal. 74-75). Cara penulisan yang adil dan objektif dari Ad-Dumaiji ini memang patut diteladani.

3. Memperluas Wawasan
Siapapun yang membaca buku Ad-Dumaiji ini, akan memperoleh tambahan wawasan ilmu keislaman khususnya fiqih siyasah yang tidak sedikit. Maklum saja, karena karya Ad-Dumaiji ini disajikan sebagai hasil olahan dari 260 kitab rujukan. Dan sebagaimana lazimnya penulisan ilmiah, kitab Ad-Dumaiji ini penuh dengan catatan kaki yang memudahkan pembacanya memeriksa dan meneliti rujukan aslinya.

Sebagai contoh, ketika membicarakan dalil-dalil wajibnya Khilafah, Ad-Dumaiji ternyata menemukan enam macam dalil. Dalil pertama, Al-Qur`an : yaitu QS An-Nisaa` : 59, QS Al-Ma`idah : 48-49, QS Al Hadid : 25, dan ayat-ayat hudud qishash, zakat, dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah. Dalil kedua, As-Sunnah, baik sunnah qauliyah maupun sunnah fi’liyah. Dalil ketiga, Ijma’ Shahabat setelah wafatnya Rasul dan menjelang wafatnya Umar. Dalil keempat, kaidah syar’iyah berbunyi maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Menegakkan syariah secara total (sebagai suatu kewajiban) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Khilafah, maka Khilafah wajib hukumnya. Dalil kelima, kaidah dharar, yaitu hadits laa dharara wa laa dhiraara (tidak boleh menimbulkan kemudharatan pada diri sendiri maupun orang lain). Bahwa tanpa Khilafah, umat berada dalam kemudharatan, maka Khilafah wajib ada untuk menghilangkan kemudharatan. Dalil keenam, bahwa khilafah termasuk perkara yang dituntut oleh fitrah dan adat manusia (Lihat Ad-Dumaiji, al-Imamah Al-‘Uzhma, hal. 49-64).

Sungguh, penjelasan hampir 20 halaman untuk dalil-dalil wajibnya Khilafah ini sudah barang tentu akan memperluas cakrawala wawasan keilmuan muslim. Kita patut berterima kasih kepada penulisnya. Syukron ya Al-Akh Ad-Dumaiji...

Maka akan terasa aneh bin ajaib, kalau ada yang mengatakan, ”Khilafah tidak ada dalilnya (nash) dari al-Qur`an dan Hadits. Khilafah hanya ijtihad para shahabat dan ulama.” Sesungguhnya akan lebih sopan dan akan bisa dimaklumi kalau mereka mengatakan,”Kami belum menemukan dalil wajibnya Khilafah.”  Tapi kalau mengklaim Khilafah tidak ada dalilnya, sungguh ini adalah suatu kesombongan yang besar sekaligus pembodohan yang keji kepada umat Islam. Allah Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban atas perkataan batil itu di Hari Kiamat nanti. [  ]

Oleh: K.H. Muhammad Siddiq Al-Jawi

REFERENSI

Abdusshomad, Muhyiddin, Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah), http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10652
Al-Hamdawi, Abdul Karim Muhammad Muthi', Fiqih Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (www.saaid.net)
Al-Mushili, Sayyid Muhammad Habib Al-Ubaidi, Hablul I’tisham fi Wujub Al-Khilafah fi Din Al-Islam, (Al-Mushili : Tanpa Penerbit), 2003
Asy-Syarif, Muhammad bin Syakir, Muqaddimah fi Fiqh An-Nizham As-Siyasi Al-Islami, (www.saaid.net)
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 9 (Al-Istidrak), (Damaskus : Darul Fikr), 1996
Mathbaqaniy, Mazin bin Shalah, An-Nizham As-Siyasi fi Al-Islam, (www.saaid.net)
Hasil Bahtsul Masail PWNU Jatim "Khilafah" Tidak Tepat Untuk Indonesia, http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10686