Sebuah renungan : Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.

MENGAPA HARUS ADA TAKHRIJ HADITS?

Sebagai bagian dari disiplin ilmu hadits, takhrij hadits ditempatkan sebagai suatu hal yang sangat penting bagi siapapun yang tertarik meneliti hadits. Dan tidak sedikit orang bertanya, mengapa harus ada takhrij hadits? Apa urgensinya? Oleh karena itu penting bagi kita memahami latar belakang takhrij hadits.

Pertama, Hadits merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw, sang pembawa risalah, sehingga segala sesuatu itu sangat berpeluang dianggap bernilai risalah. Adanya kepastian bahwa memang betul hal tersebut berasal dari sang pembawa risalah tadi itulah yang menyebabkan Hadits perlu diteliti.

Kedua, Hadits tidak sempat dibukukan seperti al-Qur’an, sehingga untuk menjamin otentisitas-nya diperlukanlah cara-cara tertentu yang kemudian dikenal dengan nama takhrij. Cara ini kemudian didefinisikan sebagai proses penunjukkan Hadits pada al-Mashadir al-Ashliyyah –kitab-kitab hadits induk yang mencantumkan Hadits secara lengkap sanad dan matannya– untuk kemudian dilakukan penelitian martabat (validitas)-nya jika memang masih diperlukan. Kata-kata terakhir dalam pengertian takhrij tersebut –jika memang diperlukan– muncul dikarenakan adanya kesepakatan di kalangan para ulama Hadits –terutama ulama sunni– bahwa kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim adalah dua buah kitab hadits yang dapat dipastikan keshahihannya. Artinya, seluruh Hadits yang terdapat pada kitab tersebut berkualitas shahih, paling tidak dari sisi validitasnya. Sehingga, peneliti dipandang tidak perlu melakukan pengecekan ulang terhadap otentisitas Hadits yang terdapat pada dua kitab tersebut.

Ketiga, secara empirik, periwayatan Hadits berlangsung dengan mempergunakan dua cara; yaitu riwayat Hadits bi al-Lafzh dan riwayat Hadits bi al-ma’na. Cara pertama, riwayat Hadits bi al-Lafzh adalah cara meriwayatkan hadits yang dilakukan oleh para perawi dengan mempergunakan redaksi yang sama antara riwayat yang diterimanya dari gurunya (generasi sebelumnya) dengan riwayat yang disampaikannya kepada muridnya (generasi berikutnya). Sementara itu, cara kedua, riwayat Hadits bi al-ma’na adalah cara meriwayatkan Hadits yang dilakukan oleh para perawi dengan mempergunakan redaksi yang berbeda antara riwayat yang diterimanya dari gurunya (generasi sebelumnya) dengan riwayat yang disampaikannya kepada muridnya (generasi berikutnya). Dalam perbedaan redaksi itu, boleh jadi terdapat kesamaan makna. Namun tidak tertutup kemungkinan, terdapat pula perbedaan makna yang ditangkap oleh perawi berikutnya, sehingga pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam matan Hadits pun menjadi berbeda.

Keempat, ketika sampai pada tahap kodifikasinya, banyak Hadits yang “tidak sempat diteliti” oleh para mudawwin-nya, sehingga banyak Hadits yang tidak diketahui kepastian kualitasnya. Kalaupun sempat diteliti, ternyata “hanya” kitab Shahihain (shahih Bukhari dan shahih Muslim) yang “selamat” dari “cacat” yang terdapat pada Hadits selama proses periwayatan dan kodifikasinya. Di luar dua kitab tersebut, Hadits masih memerlukan penelitian ulang.

Kelima, Hadits yang tidak diketahui kepastian kualitasnya itu nampak sudah “terlanjur” dibaca, dipahami, dikutip (dan karenanya diyakini sebagai bagian risalah) oleh generasi yang datang pada waktu berikutnya (menjadi reliabel), sehingga risalah itu pun, kasarnya, nampak tercampur antara Hadits yang diketahui kepastian kualitasnya dan yang tidak. Sementara itu, secara historis, kontribusi Hadits terhadap ilmu-ilmu keislaman seperti al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an), Fiqih/Ushul Fiqih, dan lain-lain sangatlah tinggi, bahkan nampak tidak dapat dipisahkan. Konsep-konsep besar seperti Asbab al-Nuzul, Tafsir bi al-Ma’tsur, Istinbath al-Ahkam dan yang lainnya telah menjadi “lahan penetratif” Hadits. Tak kalah menariknya dalam persoalan Ilmu Kalam dan Tasawuf. “Semua” mazhab kalam dan tasawuf ternyata diketahui atau mengklaim dirinya bersumber dari Rasulullah saw. Hal ini berarti bahwa “apa saja” yang terdapat pada mereka itu, dalam koridor pandangan mereka, mestilah ada Haditsnya, atau, paling tidak, ujung-ujungnya sampai juga pada apa yang mereka yakini betul sebagai Hadits.
sumber : Hadits Learning Center