Sebuah renungan : Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.

Tafsir Feminis Melawan Konsep Wahyu

Keunikan al-Qur'an sebagai wahyu, -baik dari sisi redaksi maupun maknanya-, mengharuskan umatnya untuk menempuh metodologi khusus yang sejalan dengan konsep wahyu dalam Islam, terlebih saat berinteraksi dengan kandungan ayat-ayatnya. Konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu.
Dewasa ini, banyak usaha "membumikan" al-Qur'an melalui pendekatan tafsir jalanlain yang tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan Islam. Al-Qur'an tidak lagi dipahami secara utuh dan menyeluruh, tetapi ditafsirkan secara parsial, lokal, kondisional dan temporal, demi menyesuaikan selera zaman dan penafsir. Bahkan seringkali bermunculan ide nyleneh yang memberi justifikasi keabsahan nilai-nilai modern dari Barat-Kristen dengan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an. Di antara ide ini adalah memahami al-Qur'an dari sudut pandang gender (feminisme) yang dilakukan oleh Prof. Dr. Nashr Hamid Abu Zayd (liberal Mesir), Dr. Muhammad Syahrur (liberal Syiria), Prof. Dr. Nasaruddin Umar, yang saat ini menjabat Wakil Menteri Agama RI, dan lain-lain.
Bagi kalangan liberal, usaha menundukkan al-Qur'an dalam paham kesetaraan gender ala Barat, biasanya tidak menolak ayat-ayat al-Qur'an secara langsung. Tetapi dilakukan dengan memberikan penafsiran ayat-ayat melalui metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah (historical criticism) adalah kritik sastera yang mengacu pada bukti sejarah atau berdasarkan konteks di mana sebuah karya ditulis, termasuk fakta-fakta tentang kehidupan pengarang/penulis serta kondisi-kondisi sejarah dan sosial saat itu. (Encyclopaedia Britannica, 1994-2001, Deluxe Edition CD-ROM.)
Metode Mendudukkan al-Qur'an dalam Kerangka Gender
Ide mendudukkan al-Qur'an dalam persepsi gender tidak dilontarkan secara sederhana dan serampangan, tapi ide ini dikaji melalui riset khusus dalam jenjang kesarjanaan tertinggi di perguruan tinggi Islam negeri yang dibimbing oleh para profesor dari lintas agama dan negara, serta menghabiskan waktu 6 tahun, dan –kononnya- dengan kajian kepustakaan di 27 negara, yang bahan-bahan pustakanya tidak hanya berbahasa Arab dan Inggris, tapi juga Ibrani, seperti yang dilakukan oleh Nasaruddin Umar.(Tekad, No. 24/Tahun I, April 1999, dalam kofer belakang ArgumenKesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an, Dr. Nasaruddin Umar, MA, 2001, selanjutnya disingkat Argumen)
Dalam kasus Nasaruddin Umar, misalnya seperti yang dijelaskan dalam disertasi S3-nya yang telah dipublikasikan dengan tema "Argumentasi Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an", ketika hendak memaparkan adanya bias gender dalam pemahaman teks, Nasaruddin melakukan beberapa langkah metodologis, seperti berikut:
a. Mendudukkan teks al-Qur'an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki makna kesucian, Nasaruddin menulis:
"Dalam menganalisa sebuah teks, baik teks al-Qur'an maupun teks naskah-naskah lainnya, ada beberapa pertanyaan filologis yang perlu diperhatikan, antara lain: Dari mana teks itu diperoleh? Bagaimana autentitas dan orisinalitas teks itu? Teks aslinya dari bahasa apa? Siapa yang menterjemahkannya? Terjemahan dari bahasa asli atau bahasa lain? Jarak waktu penerjemah dengan teks-teks terjemahan? Atas sponsor siapa teks dan penerjemahan itu? Setiap bahasa mempunyai latar belakang budaya; bagaimana latar belakang budaya teks itu?" ( Argumen, hal. 265-266, cetak miring dari penulis)
b. Melakukan kritik terhadap metode-metode khazanah tafsir dan 'Ulum al-Qur'an yang telah digali sejak zaman Sahabat dalam berinteraksi dengan al-Qur'an. Tentang kritiknya ini, Nasaruddin menganalisa beberapa faktor yang –menurutnya- turut memberi peran bias gender dalam pemahaman teks al-Qur'an, seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca dan Qira'at; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti; penetapan batas pengecualian; penetapan arti huruf 'athf; bias dalam struktur bahasa Arab; bias dalam kamus bahasa Arab; bias dalam metode tafsir; pengaruh riwayat isra'iliyyat, dan bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh. Tentunya dengan terbatasnya ruang di sini, penulis hanya akan menjelaskan atau mengomentari sebagian faktor-faktor tersebut. Sebagai contoh, tentang adanya Bias dalam Struktur Bahasa Arab yang digunakan Nasaruddin untuk mengungkap bias gender dalam pemahaman teks, ia menulis:
"Bahasa Arab yang "dipinjam" Tuhan dalam menyampaikan ide-Nya sejak awal mengalami bias jender, baik dalam kosa kata (mufradat) maupun dalam strukturnya". (ibid, hal. 277)
Kemudian dia memaparkan contoh bahwa dalam tradisi bahasa Arab, jika yang menjadi sasaran pembicaraan laki-laki atau perempuan digunakan bentuk maskulin, misalnya kewajiban mendirikan shalat cukup dikatakan aqimu l-shalah, tidak perlu lagi dikatakan aqimna l- shalah, karena ada kaedah mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan jika berkumpul di suatu tempat cukup dengan menggunakan bentuk maskulin dan secara otomatis perempuan termasuk di dalamnya, kecuali ada hal lain mengecualikannya. (ibid, hal. 278) Sehingga tidak berlebihan jika pernyataan tersebut dipahami bahwa Tuhan salah memilih bahasa Arab yang bias gender itu, untuk dijadikan sebagai media firman-Nya.
c. Paham relativisme. Hal ini bisa dilihat dari pandangannya setelah menyatakan bahwa seolah-olah Tuhan dia vonis bersalah karena menjadikan bahasa Arab sebagai media Firman-Nya, kemudian Nasaruddin menolak disimpulkan bahwa Tuhan lebih memihak laki-laki. Nampak seperti kebingungan, di satu sisi mengklaim bahwa bahasa Arab yang digunakan sebagai media firman-Nya adalah bias gender, namun di sisi lain menyatakan Tuhan tidak memihak laki-laki. Tulisnya:
"Bias jender dalam teks, tidak berarti Tuhan memihak dan mengidealkan laki-laki, atau Tuhan itu laki-laki karena selalu menggunakan kata ganti mudhakkar, -misalnya Qul Huwallahu Ahad, kata huwa adalah kata ganti maskulin, tidak pernah menggunakan kata ganti feminin (hiya)-, tetapi demikianlah struktur bahasa Arab, yang digunakan sebagai bahasa al-Qur'an".(ibid, hal. 278).
Paham relativisme adalah doktrin yang menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas selalu tergantung pada budaya, masyarakat atau konteks sejarah; dan kesemuanya itu tidak bersifat mutlak. Kemudian, apa yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk tidak lagi bersifat abasolut, tapi senantiasa berubah dan relatif tergantung pada individu, lingkungan atau kondisi sosial. Pandangan ini sudah ada sejak masa Protagoras, tokoh Sopis Yunani abad 5 SM. Saat ini pandangan ini digunakan sebagai pendekatan ilmiah dalam ilmu sosiologi dan antropologi. (The New Oxford Dictionary of English dan Encyclopaedia Britannica, 1994-2001, Deluxe Edition CD-ROM).
Contoh lain dari paham relativisme yang digunakan Nasaruddin, misalnya dalam sebuah wawancara dengan aktivis JIL yang dimuat dalam situs islamlib dengan tema: Semua Kitab Suci Bias Gender! 26-4-2004, dia mengatakan: "Ironisnya, yang saya temukan, bukan hanya di dalam Al-Qur’an yang tidak memberikan tempat yang layak terhadap perempuan, tapi juga Bible dan kitab-kitab suci agama lainnya...". Namun saat ditanya lebih lanjut tentang posisi  perempuan dalam al-Qur'an, Nasaruddin menjawab: "Sejauh yang saya pelajari, al-Qur’an memberikan kebebasan luar biasa terhadap perempuan. Makanya dalam beberapa penelitian tentang kitab suci ditegaskan, tidak ada sistem nilai yang memberi pengakuan luar biasa terhadap perempuan selain sistim nilai yang dikandung al-Qur'an"
d. Metode kritik sejarah, yaitu dengan mengkaji latar belakang budaya yang dimiliki suatu bahasa, dan sebuah metode yang membedakan antara unsur normatif dan kontekstual. (ibid, hal. 278 dan 286) Tentang metode ini, dia menulis di bab pendahuluan:
"Hal ini (kajian mendalam terhadap kondisi objektif di kawasan jazirah Arab) dinilai penting karena al-Qur'an pertama kali dialamatkan di kawasan ini. Seperti diketahui, kawasan ini bukanlah suatu kawasan yang hampa budaya, melainkan sudah sarat dengan berbagai nilai". (ibid, hal. 8). Selanjutnya, dalam kesimpulan kajiannya, dia menyatakan: "Dalam kenyataan sejarah, kondisi obyektif sosial-budaya tempat kitab suci itu diturunkan menjadi referensi penting di dalam memahami teks tersebut". Di samping itu, dia menjelaskan: "Memahami kondisi obyektif Jazirah Arab tidak dapat ditinggalkan bagi siapa saja yang ingin memahami lebih mendalam ayat-ayat al-Qur'an, karena tidak sedikit ayat-ayat al-Qur'an diturunkan untuk menanggapi atau mendukung budaya lokal masyarakat Arab". (ibid, hal. 307). Sayangnya Nasaruddin tidak memerinci lebih jauh contoh-contoh klaimnya ini, khususnya ayat-ayat yang turun untuk mendukung budaya lokal masyarakat Arab atau ayat-ayat yang terpengaruh oleh budaya Arab pra-Islam.
e. Penggunaan teori khushush al-sabab(=sebab khusus) yang minor dan ganjil di kalangan ulama tafsir sebagai justifikasi untuk menguatkan metode kritik sejarah. Dalam memahami ayat, teori khushush al-sabab mengharuskan penafsir untuk mengutamakan sebab khusus (peristiwa, kejadian dan pertanyaan) yang melatarbelakangi turunnya ayat. Sehingga dengan pendekatan ini, ayat-ayat yang dia pandang merugikan perempuan, tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan saat ini, walaupun redaksi ayat tersebut bersifat umum. Dalam meniscayakan penggunaan teori khushush al-sabab, Nasaruddin menulis: "Hampir semua ayat jender turun dalam suatu sebab khusus, tetapi hampir semua ayat-ayat tersebut menggunakan bentuk (shighah) lafadh umum". (ibid, hal. 306). Kemudian dia simpulkan bahwa jumhur ulama yang menggunakan lafadh umum lebih tekstual dan minoritas ulama yang menggunakan khushush al-sabab lebih kontekstual. (ibid, hal. 307).
Contoh lain dalam menguatkan teori ini, Nasaruddin menjelaskan: "Sebetulnya semua ayat-ayat hukum tentang perempuan, sejauh yang saya kenal punya sebab nuzul. Artinya semua punya historical background. Dalam hal ini berlaku pertanyaan: mana yang harus dijadikan pegangan, apakah sebuah teks atau historical background-nya? Ada yang mengatakan al-‘ibrah bi ‘umumi al-lafdh la bi khushushal-sabab, yang dipegang adalah universalitas teks, bukan partikularitas sebab. Tapi ada juga pendapat lain. Al-Syatibi mengatakan, al-‘ibrah bi maqashid al-shari’ah, yang harus dijadikan pegangan adalah apa yang menjadi tujuan dari syari’ah". Dengan menukil pendapat Imam al-Syatibi, maka tokoh-tokoh liberal bisa menggiring pada pendapat bahwa yang penting adalah substansi hukum, bukan jenis formalitas hukum yang termaktub dalam ayat-ayat al-Qur'an.(Lihat: Semua Kitab Suci Bias Gender! 26-4-04, www.islamlib.com)
f. Dialektika antara tekstual dan kontekstual. Kata tekstual (literal, harfiyah) selalu digambarkan sebagai hal yang negatif, kolot, radikal, konservatif, fundamentalis, dsb. Sebaliknya kontekstual selalu digambarkan sebagai hal yang moderat, terbuka dan representatif untuk ruang kekinian.
Kata konteks dalam The New Oxford Dictionary of English diartikan: the circumstances that form the setting for an event, statement, or idea, and in terms of which it can be fully understood and assessed. Kata ini juga berarti the parts of something written or spoken that immediately precede and follow a word or passage and clarify its meaning. Mengkontekstualisasikan (contextualize) berarti menempatkan atau mengkaji dalam suatu konteks. Patut dicatat dalam contoh kalimat untuk kata contextualize dalam kamus ini disebutkan some Christians fail to contextualize the words of Jesus. Sehingga ada kesan bahwa dalam pandangan Barat Kristen kata Jesus masih merupakan problem yang belum terpecahkan. Namun apakah kemudian cara pandang Kristen ini mempunyai kaitan erat dengan cara pandang tokoh-tokoh liberal mengkontekstualisasikan ayat-ayat al-Qur'an? Kiranya perlu riset khusus untuk mengkaji masalah tersebut.
Metode kritik sejarah yang diadopsi tokoh-tokoh liberal semisal Nasaruddin untuk memperkuat teori gendernya mengharuskan pembaca al-Qur'an untuk menganalisa budaya yang melatarbelakangi bahasa Arab sebagai media wahyu. Dengan metode ini, akan disimpulkan bahwa budaya Timur Tengah yang memposisikan laki-laki lebih dominan daripada perempuan, telah menghegemoni pemahaman ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Dengan kata lain, karena al-Qur'an menggunakan bahasa Arab, maka ia juga terpengaruh oleh budaya Arab pra-Islam.
Metode yang digunakan Nasaruddin ini dalam tradisi Kristen, biasa dikenal dengan metode kritik sejarah atau kritik Bibel (Biblical criticism). Kritik Bibel adalah disiplin ilmu yang mengkaji pertanyaan-pertanyaan teks, komposisi dan sejarah seputar Perjanjian Lama dan Baru. Kritik Bibel memberikan dasar untuk penafsiran yang penuh arti atas Bibel.(Encyclopaedia Britannica, 1994-2001, Deluxe Edition CD-ROM). Dengan demikian dapat dipahami bahwa tanpa metode ini, pemahaman terhadap teks-teks Bibel menjadi tidak atau kurang bermakna.
Ringkasnya, gerakan feminisme di Barat yang muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap teks-teks biblis, --seperti yang diungkapkan oleh Nicola Slee, teolog feminis dan penulis asal Inggris--, menolak untuk terus-menerus membaca teks-teks kitab suci dan tradisi patriarkal kuno, yakni cara-cara yang sudah mapan.(Alkitab, hal. 46). Kemudian mereka berusaha menemukan penafsiran segar dengan menggunakan metode hermeneutika.
Pembahasan Ringkas: Kenapa Tafsir Feminis Harus ditolak?
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil 'alamin,bukan untuk membanding-bandingkan antara laki-laki dan perempuan. Ajaran Islam bukan disusun berdasarkan ukuran dan jenis kelamin, sehingga tafsir al-Qur'an pun tidak pernah ditulis berdasarkan hal ini. Maka jika corak tafsir feminis yang mendasarkan metodenya pada kritik sejarah sebagai tren baru dalam metode tafsir al-Qur'an, otomatis akan banyak menyisakan pertanyaan yang berjubel: Sejauhmanakah keabsahan metode ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an? Apakah terbatas pada ayat-ayat yang dipandang merugikan perempuan, dan tidak pada laki-laki? Ataukah metode kritik sejarah ini juga bisa digunakan untuk menafsirkan semua ayat-ayat al-Qur'an, baik yang terkait dengan tauhid, ibadah, hukum-hukum yang terkait dengan individu dan sosial, baik yang bersifat hukum kriminal maupun kekeluargaan, akhlak, kisah-kisah umat terdahulu, makanan, minuman, pakaian, serta bisakah juga diterapkan untuk mengkaji ayat-ayat yang bersifat muhkamat dan mutashabihat, baik itu ayat-ayat yang lafadznya berindikasi qath'i-zhanni, muthlaq-muqayyad, khash-'am dsb?! Ataukah metode kritik sejarah baru digunakan untuk menafsirkan sebagian ayat dalam rangka menolak sebagian ajaran-ajaran Islam tertentu yang tidak sejalan dengan paham humanisme dan pandangan-pandangan hidup Barat-Kristen kontemporer?
Paham liberalisme Barat pada dasarnya berpijak pada prinsip kebebasan yang absolut dan tak terkendali dalam pemikiran, agama, keyakinan, keimanan, bicara, pers dan politik (an absolute and unrestrained freedom of thought, religion, conscience, creed, speech, press, and politics). Sehingga pada gilirannya akan membawa dampak yang mengikis habis peran agama dalam kehidupan pribadi dan sosial. Sebab dampak terbesar dari liberalisme adalah (a) penghapusan hak Tuhan dan semua bentuk kekuasaanyang berasal dari Tuhan; (b) menjauhkan agama dari kehidupan publik dan memindahkannya ke ruang privat dalam keyakinan seseorang; (c) pengabaian mutlak terhadap agama Kristen dan gereja selaku institusi publik, legal dan sosial. (the abolition of the Divine right and of every kind of authority derived from God; the relegation of religion from the public life into the private domain of one's individual conscience; the absolute ignoring of Christianity and the Church as public, legal, and social institutions).http://www.newadvent.org/cathen/09212a.htm
Inilah hakekat gerakan pembaharuan intelektual di Eropa pada abad 17 dan 18 (enlightenment, aufklarung, renaissance dan Revolusi Perancis) yang membentuk pandangan hidup (worldview) baru masyarakat Barat yang sekular dan melahirkan pemikir-pemikir yang agnostik terhadap agama. Sarjana-sarjana Barat abad 18 menganggap agama sebagai suatu ilusi dan penyimpangan intelektual. (Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, 2007, hal. 110). Inilah dasar yang harus diketahui dari Barat, sebelum berinteraksi dengan peradaban Barat lebih lanjut.
Isu-isu syariah yang dipropagandakan kalangan liberal, seperti masalah batasan aurat dan hak waris tidak luput dari pemahaman yang salah tentang makna tekstual dan kontekstual. Ayat-ayat al-Qur'an tidak bisa didekati secara dikotomis seperti ini. Sebab yang dikatakan tekstual juga mengandung kontekstual dan memerlukan pemaknaan yang lebih luas dari sekedar keduanya. Sebagai contoh satu kata dalam bahasa Arab bisa mencakup makna hingga puluhan, misalnya kata nazhirah bisa berarti melihat, menunggu, menanti, menangguhkan dsb. Namun dalam QS. Al-Qiyamah: 23 misalnya, kenapa kata ini tidak boleh dimaknai selain melihat? Ini berarti bahwa secara etimologis pun, lafadz dalam ayat al-Qur'an sudah tercakup pengertian kontekstual.
Penutup
Berislam yang benar adalah dengan memperhatikan isnad atau silsilah sanad tentang ajaran agama yang hendak dijadikan pegangan. Isnadadalah bagian dari agama, tanpa memperhatikan rantai isnad semua orang tanpa kualifikasi dan kapasitas akan berbicara tentang semua masalah dalam agama. Bagaimana sekiranya rantai isnad dalam berislam ternyata berpenghujung dan berasal dari Barat Kristen yang tidak sejalan dengan Islam?
* Ringkasan dari makalah: ”Tafsir Feminis: Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir” yang disampaikan pada acara Munas LDK di Malang, pada 6 april 2008